TEKNOLOGI PENDIDIKAN
Modul 3: Menyelaraskan Visi, Misi, Dan Tujuan Sekolah Dengan Pembelajaran Mendalam
25 - Juni - 2025 244 Share :Panduan penyelarasan visi, misi, dan tujuan sekolah agar selaras dengan Pembelajaran Mendalam. Modul 3 lengkap untuk guru dan kepala sekolah.

Pernah membaca visi sekolah yang terdengar indah, tapi tidak terasa dalam praktik sehari-hari? Atau mungkin, misi dan tujuan sekolah sekadar jadi formalitas di dokumen tanpa arah nyata di ruang kelas?
Itu tandanya ada yang belum nyambung. Modul 3 ini hadir untuk bantu sekolah menyelaraskan visi, misi, dan tujuan (VMT) dengan arah baru pendidikan: Pembelajaran Mendalam. Kita akan belajar bagaimana membuat visi yang hidup, misi yang bermakna, dan tujuan yang bisa jadi kompas pembelajaran.
Kalau kamu guru, kepala sekolah, atau penggerak komunitas belajar, yuk simak langkah-langkah strategis berikut ini agar VMT bukan cuma indah di dinding, tapi nyata di setiap proses belajar.
Apa Itu VMT Satuan Pendidikan?
VMT adalah singkatan dari Visi, Misi, dan Tujuan — tiga elemen penting yang menjadi arah dan identitas dari setiap satuan pendidikan. Tapi, sering kali VMT hanya jadi tulisan di papan nama atau halaman profil sekolah, tanpa benar-benar dihidupi oleh seluruh warga sekolah.
Visi menggambarkan mimpi besar sekolah: akan jadi seperti apa murid yang dilahirkan dari proses pendidikannya. Misi adalah langkah-langkah strategis yang dijalankan untuk mewujudkan visi tersebut. Dan tujuan adalah hasil yang diharapkan dalam jangka menengah dan pendek, yang bisa diukur dan dievaluasi.
Dalam Pembelajaran Mendalam, VMT bukan hanya simbol administratif. Ia menjadi kompas utama, penentu arah semua kebijakan, kegiatan belajar, dan budaya sekolah. VMT yang disusun dengan baik bisa jadi bahan bakar semangat seluruh warga sekolah, dari guru hingga murid.
Dari pengalaman saya mendampingi beberapa kepala sekolah, proses menyusun VMT yang kolaboratif dan kontekstual seringkali menjadi titik balik. Saat semua pihak dilibatkan—guru, murid, komite, bahkan alumni—maka visi tidak hanya dimiliki oleh segelintir orang, tapi menjadi milik bersama. Di sinilah perubahan pendidikan dimulai.
Mengapa VMT Harus Diselaraskan dengan Pembelajaran Mendalam?
Pernah merasa program sekolah jalan ke kiri, sementara pembelajaran di kelas jalan ke kanan? Itu biasanya karena visi, misi, dan tujuan (VMT) tidak sejalan dengan praktik pembelajaran yang dijalankan sehari-hari. Di sinilah pentingnya penyelarasan VMT dengan Pembelajaran Mendalam (PM).
PM bukan sekadar metode, tapi arah perubahan pendidikan yang menekankan pembelajaran yang berkesadaran, bermakna, dan menggembirakan. Kalau sekolah punya visi "mewujudkan pelajar yang mandiri, kolaboratif, dan peduli lingkungan", maka cara mengajarnya juga harus mendukung itu. Misalnya, memberi ruang proyek kolaboratif, refleksi rutin, dan konteks belajar yang relevan.
Saya pernah mengunjungi sebuah sekolah yang visinya luar biasa—"Menjadi sekolah yang melahirkan pembelajar seumur hidup dan pemimpin masa depan". Tapi sayangnya, pembelajarannya masih didominasi ceramah satu arah dan ulangan hafalan. Ketimpangan ini bikin visi jadi hiasan semata. Padahal, dengan menyelaraskan visi dengan PM, sekolah bisa memastikan semua langkah pendidikan mengarah ke tujuan yang sama.
Penyelarasan ini juga membantu sekolah lebih fokus dalam membuat keputusan. Mau pakai teknologi? Harus ditanya: "Apakah ini memperkuat nilai-nilai dalam visi kita?" Mau mengadakan pelatihan guru? Pertanyaan penting: "Apakah pelatihan ini membantu guru menerapkan pembelajaran yang sesuai dengan misi sekolah?"
Intinya, ketika VMT dan PM berjalan beriringan, seluruh gerak sekolah akan lebih terarah, tidak saling bertabrakan, dan murid pun akan merasakan makna yang konsisten—di kelas, di halaman, maupun di rumah.
Prinsip-prinsip Visi yang “Hidup”
Banyak sekolah punya visi yang terdengar megah. Tapi sayangnya, seringkali hanya berhenti di papan dinding atau dokumen akreditasi. Visi yang hidup bukan soal kalimat yang indah—tapi tentang arah yang jelas dan dirasakan oleh semua warga sekolah.
Visi yang “hidup” itu punya beberapa ciri:
- Inspiratif: Visi menggerakkan, bukan membingungkan. Guru merasa terinspirasi untuk mengajar lebih bermakna, murid merasa bagian dari tujuan besar sekolah.
- Kontekstual: Visi tidak copy-paste dari sekolah lain. Ia lahir dari refleksi terhadap tantangan dan potensi lokal yang nyata. Misalnya, jika sekolah berada di daerah pertanian, visi bisa mencerminkan nilai-nilai keberlanjutan dan kemandirian pangan.
- Selaras dengan PM: Visi memuat nilai-nilai seperti kemandirian belajar, berpikir kritis, kolaborasi, dan refleksi. Inilah nilai-nilai inti dari Pembelajaran Mendalam yang harus terasa sejak penyusunan visi.
- Dihidupi bersama: Semua warga sekolah tahu, paham, dan terlibat dalam mewujudkan visi. Bukan hanya kepala sekolah dan guru, tapi juga murid, orang tua, bahkan penjaga sekolah.
Dalam pengalaman saya membantu sekolah menyusun ulang visinya, proses diskusi terbuka antar guru dan murid justru jadi momen refleksi paling kuat. Dari situlah muncul kalimat-kalimat yang jujur dan relevan, bukan sekadar formalitas. Hasilnya? Visi tidak hanya dihafalkan, tapi diyakini.
Visi yang hidup itu ibarat bintang penunjuk arah. Ia tidak langsung menyelesaikan masalah, tapi memberi kejelasan ke mana langkah-langkah kecil di sekolah harus menuju. Dan dalam konteks PM, visi yang kuat akan membantu guru dan murid terus mengingat bahwa belajar bukan sekadar untuk nilai, tapi untuk masa depan yang lebih baik.
Merancang Misi yang Bermakna dan Kolaboratif
Kalau visi adalah tujuan jangka panjang, maka misi adalah langkah-langkah konkret untuk mewujudkannya. Misi seharusnya bukan sekadar daftar kalimat normatif seperti “meningkatkan mutu pendidikan” atau “mengembangkan potensi peserta didik”—tapi benar-benar terasa dalam tindakan sehari-hari.
Misi yang bermakna harus menjawab pertanyaan: apa yang secara nyata dilakukan oleh sekolah untuk mewujudkan visinya? Dalam konteks Pembelajaran Mendalam (PM), misi harus mencerminkan proses belajar yang aktif, reflektif, dan relevan dengan kehidupan murid.
Contohnya, jika visi sekolah adalah “melahirkan pembelajar seumur hidup yang kolaboratif dan berpikir kritis”, maka misi bisa berupa:
- Menerapkan pembelajaran berbasis proyek dan refleksi di setiap jenjang
- Membangun budaya diskusi dan pemecahan masalah antar murid
- Mendorong kolaborasi guru untuk merancang pembelajaran kontekstual
Dalam pengalaman saya mendampingi penyusunan misi sekolah, pendekatan kolaboratif jadi kunci. Ketika guru, kepala sekolah, dan murid duduk bersama merumuskan misi, hasilnya lebih jujur dan realistis. Tidak sekadar mengikuti tren, tapi benar-benar sesuai dengan kekuatan dan nilai sekolah.
Misi juga harus bisa diterjemahkan ke dalam program sekolah, bukan hanya jadi dekorasi di proposal BOS. Artinya, setiap kegiatan—dari upacara bendera sampai proyek kelas—perlu punya garis penghubung ke misi. Dengan begitu, sekolah akan bergerak dengan sadar dan terarah.
Menyusun Tujuan yang Terukur dan Transformatif
Kalau visi adalah arah, dan misi adalah langkah, maka tujuan adalah hasil yang ingin dicapai—dan bisa dievaluasi. Sayangnya, banyak tujuan sekolah yang masih terlalu umum, sulit diukur, atau tidak nyambung dengan praktik belajar di kelas.
Dalam Pembelajaran Mendalam (PM), tujuan tidak hanya fokus pada angka atau nilai akademik, tapi juga menyasar perubahan cara berpikir, bersikap, dan bertindak. Itulah kenapa tujuan sebaiknya dirancang secara transformatif—yakni membawa perubahan bermakna, sekaligus terukur agar bisa dievaluasi bersama.
Contoh tujuan yang sejalan dengan PM misalnya:
- Murid mampu menyampaikan pendapat dengan runtut dan sopan dalam diskusi kelompok
- Guru merancang minimal dua unit pembelajaran berbasis refleksi setiap semester
- Sekolah menyelenggarakan satu pameran hasil karya murid sebagai bentuk pembelajaran autentik setiap tahun
Dari pengalaman saya memfasilitasi workshop di beberapa sekolah, tujuan yang dirumuskan bersama justru lebih realistis dan terasa “milik bersama”. Guru merasa tidak dibebani target yang tidak relevan, tapi justru terdorong karena mereka tahu persis kenapa dan bagaimana itu dicapai.
Penting juga untuk memastikan bahwa tujuan punya indikator yang jelas. Bukan untuk formalitas, tapi agar refleksi bisa dilakukan secara berkala: apakah kita sudah bergerak ke arah visi, atau justru berputar di tempat?
Dengan menyusun tujuan yang terukur dan transformatif, sekolah punya titik temu antara harapan jangka panjang dan langkah nyata yang bisa dilacak. Dan yang paling penting: proses belajar di kelas akan punya arah yang lebih jelas dan bermakna, bukan sekadar menyelesaikan silabus.
Menyusun Tujuan yang Terukur dan Transformatif
Kalau visi adalah arah, dan misi adalah langkah, maka tujuan adalah hasil yang ingin dicapai—dan bisa dievaluasi. Sayangnya, banyak tujuan sekolah yang masih terlalu umum, sulit diukur, atau tidak nyambung dengan praktik belajar di kelas.
Dalam Pembelajaran Mendalam (PM), tujuan tidak hanya fokus pada angka atau nilai akademik, tapi juga menyasar perubahan cara berpikir, bersikap, dan bertindak. Itulah kenapa tujuan sebaiknya dirancang secara transformatif—yakni membawa perubahan bermakna, sekaligus terukur agar bisa dievaluasi bersama.
Contoh tujuan yang sejalan dengan PM misalnya:
- Murid mampu menyampaikan pendapat dengan runtut dan sopan dalam diskusi kelompok
- Guru merancang minimal dua unit pembelajaran berbasis refleksi setiap semester
- Sekolah menyelenggarakan satu pameran hasil karya murid sebagai bentuk pembelajaran autentik setiap tahun
Dari pengalaman saya memfasilitasi workshop di beberapa sekolah, tujuan yang dirumuskan bersama justru lebih realistis dan terasa “milik bersama”. Guru merasa tidak dibebani target yang tidak relevan, tapi justru terdorong karena mereka tahu persis kenapa dan bagaimana itu dicapai.
Penting juga untuk memastikan bahwa tujuan punya indikator yang jelas. Bukan untuk formalitas, tapi agar refleksi bisa dilakukan secara berkala: apakah kita sudah bergerak ke arah visi, atau justru berputar di tempat?
Dengan menyusun tujuan yang terukur dan transformatif, sekolah punya titik temu antara harapan jangka panjang dan langkah nyata yang bisa dilacak. Dan yang paling penting: proses belajar di kelas akan punya arah yang lebih jelas dan bermakna, bukan sekadar menyelesaikan silabus.
Strategi Penyelarasan VMT di Sekolah
Menyusun VMT saja belum cukup. Tantangan sesungguhnya adalah bagaimana menyelaraskan VMT dengan praktik nyata di sekolah. Mulai dari cara guru mengajar, cara murid belajar, hingga budaya yang tercermin di setiap sudut sekolah.
Ada beberapa strategi yang bisa dilakukan agar VMT tidak hanya jadi tulisan di atas kertas, tapi benar-benar dihidupi oleh seluruh warga sekolah:
- Libatkan seluruh pemangku kepentingan sejak awal: Guru, murid, orang tua, bahkan tenaga kependidikan perlu dilibatkan dalam penyusunan atau peninjauan VMT. Dengan begitu, akan muncul rasa memiliki dan tanggung jawab bersama.
- Integrasikan VMT dalam kegiatan sehari-hari: Mulai dari upacara, kegiatan kelas, proyek murid, hingga rapat dewan guru. Misalnya, saat evaluasi pembelajaran, guru bisa refleksi: "Apakah metode ini mendekatkan murid ke visi sekolah?"
- Gunakan VMT sebagai acuan pengambilan keputusan: Setiap kebijakan atau program sebaiknya mengacu pada VMT. Apakah program ekstrakurikuler, pelatihan guru, atau penggunaan teknologi mendukung nilai-nilai yang sudah disepakati?
- Buat indikator hidup: Artinya, indikator yang bukan cuma angka, tapi juga perilaku dan budaya. Misalnya, “tingkat partisipasi murid dalam diskusi reflektif” bisa jadi indikator pencapaian misi pembelajaran bermakna.
- Evaluasi dan refleksi berkala: Setiap semester, ajak guru dan siswa merefleksi bersama: Apakah visi kita terasa di ruang kelas? Apakah program sekolah benar-benar membawa kita ke arah yang dituju?
Dalam beberapa sekolah dampingan saya, strategi ini berhasil mengubah suasana sekolah secara perlahan tapi pasti. Yang awalnya hanya sekadar “menyelesaikan kurikulum”, berubah menjadi “menjalankan visi bersama.”
Penyelarasan butuh waktu dan proses. Tapi dengan arah yang jelas dan niat kolaboratif, sekolah bisa jadi ruang belajar yang lebih utuh, konsisten, dan berdampak.
Membangun Kepemilikan Bersama atas VMT
Satu hal yang membedakan VMT yang hidup dan berfungsi dengan VMT yang sekadar hiasan adalah: kepemilikan bersama. Saat visi hanya dibuat oleh tim kecil tanpa partisipasi warga sekolah, wajar jika hasilnya tidak terasa mengakar.
Kepemilikan artinya semua orang merasa terlibat, merasa penting, dan merasa punya peran dalam mewujudkan VMT. Bukan hanya kepala sekolah dan guru senior, tapi juga murid, orang tua, dan bahkan staf TU atau penjaga sekolah.
Saya pernah mengikuti proses penyusunan visi sekolah di mana murid ikut dilibatkan melalui forum kecil dan curah pendapat. Ternyata, dari ide-ide sederhana yang mereka sampaikan, muncul perspektif segar dan jujur—sesuatu yang sering luput dari rapat resmi. Proses ini bukan hanya membuahkan visi yang kontekstual, tapi juga menumbuhkan rasa bangga dan keterikatan pada sekolah.
Ada beberapa cara sederhana untuk membangun kepemilikan bersama terhadap VMT:
- Membuka forum diskusi terbuka dengan guru, murid, dan orang tua
- Menyusun visi dalam bahasa yang mudah dipahami semua kalangan
- Menjadikan VMT bahan refleksi dalam kegiatan pembelajaran dan upacara
- Memvisualisasikan VMT melalui poster, mural, atau karya seni murid
- Membiasakan menyebut visi dalam rapat, presentasi, atau laporan kegiatan
Kepemilikan bersama bukan sesuatu yang instan. Tapi ketika dibangun dengan niat dan proses yang terbuka, VMT akan benar-benar menjadi bagian dari kehidupan sekolah. Dan di situlah pembelajaran mendalam mendapat tempat untuk tumbuh—bukan sebagai proyek sesaat, tapi sebagai budaya belajar yang mengakar.
Penutup: Visi yang Hidup, Sekolah yang Bergerak
Visi, misi, dan tujuan bukan sekadar pelengkap dokumen akreditasi. Ketiganya adalah jiwa dari arah gerak sekolah. Dan jika diselaraskan dengan semangat Pembelajaran Mendalam, maka VMT bisa menjadi kompas yang mengarahkan seluruh proses pendidikan ke hal yang benar-benar bermakna.
Proses menyusun dan menyelaraskan VMT bukan pekerjaan satu malam. Tapi dari pengalaman di lapangan, perubahan besar di sekolah sering kali dimulai dari keberanian menyusun ulang visi bersama-sama—dengan guru, murid, orang tua, dan komunitas.
Bayangkan jika seluruh guru di sekolah tahu visi dan percaya pada misinya. Jika murid bisa merasakan nilai dari tujuan sekolah lewat cara mereka belajar. Jika orang tua mendukung program karena merasa terlibat sejak awal. Maka sekolah bukan lagi tempat yang sibuk mengejar nilai, tapi ruang hidup yang menumbuhkan manusia utuh.
Jadi, mari bergerak bersama. Mulai dari hal kecil—mengajak diskusi di ruang guru, menulis ulang misi secara kolaboratif, atau sekadar menanyakan pada murid: “Menurutmu, belajar di sekolah ini buat apa sih?” Dari pertanyaan-pertanyaan itulah, arah pendidikan yang baru bisa kita bangun.
File Lampiran : Modul 3: Menyelaraskan Visi, Misi, dan Tujuan Sekolah dengan Pembelajaran Mendalam

Aristo Bharata
Founder tamanpustaka.com & guru di UPTD SPF SDN Sekarputih 1 Kecamatan Tegalampel Bondowoso